Selasa, 12 Maret 2013

Surat Pembaca

Diposting oleh putrimaharani di 00.49

Bagaimana lingkungan di SMPN 1 Kalasan ?
Saya sebagai siswa SMPN 1 Kalasan merasa bangga, karena saya dapat bersekolah di sekolahan yang unggul dalam prestasi. Sewaktu SD saya pengen sekali sekolah di SMPN 1 Kalasan dan saya berusaha sekuat kemampuan saya untuk meraih cita-cita saya, tetapi saya merasa terganggu dengan kebersihan di sekolah saya terutama di depan kelas saya disaat saya duduk di kelas IX.
Di depan kelas saya terdapat halaman yang lumayan luas. Setiap saat, halaman depan kelas saya pasti basah karena tetes air dari tembok atas yang bocor. Hal itu membuat anggota piket pada hari itu sangat kewalahan saat berpiket, karena sehabis dipel lantai itu akan tetap kotor setelah air yang menetes terkena pijakan sepatu  siswa-siswa yang berjalan melewati depan kelas saya.
Kondisi seperti ini membuat lingkungan di sekitar SMPN 1 Kalasan terlihat kumuh. Padahal siswa akan nyaman dengan kondisi sekolah yang bersih dan nyaman. Ironisnya lagi disetiap musim hujan, halaman depan kelas saya pasti terlihat sangat kotor, karena para siswa yang sering keluar masuk kelas dan membawa kotoran, misal tanah. Apabila tanah terkena air pasti akan menimbulkan plek – plek coklat akibat campuran air dengan tanah.
Mengapa pihak sekolah membiarkan lingkungan ini seperti tidak terurus? Padahal, apa susahnya mempekerjakan beberapa orang untuk membenahi tembok atas yang bocor dan memberi solusi agar halaman di depan kelas saya tidak begitu kotor saat musim hujan tiba.
Sering kali kelas saya  mendapat sorotan oleh Ibu Kepala Sekolah karena depan kelas saya yang kotor karena berbagai hal itu. Padahal SMPN 1 Kalasan juga sering dikunjungi berbagai tamu, apa tidak malu atas kondisi lingkungan tersebut? Semoga pihak yang terkait dalam hal tersebut bisa memberi solusi yang terbaik demi kebersihan sekolah kita.
Niki Rurut Putri Maharani
Kertirejo Bogem Tamamartani Kalasan
(1 Februari 2013)

0 komentar:

Posting Komentar

 

dream comes true Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos